Puisi – Jiwa yang Kelimpungan

jiwa yang kelimpungan

Jiwa yang Kelimpungan

/1/

Terwujudlah ia dalam rembang malam yang enggan beranjak dari kelam. Seonggok jiwa yang terjerembap dalam pengembaraan tanpa ujung sebab tersesat di dalam labirin pikirannya sendiri. Tempat bayang-bayang masa lalu berseru, mengutuk dan memeluknya dalam gelombang kepahitan yang tak putus.

Baginya, waktu adalah bilah pedang yang tumpul sekaligus kejam. Tidak membunuh, namun meninggalkan sayatan yang tak kunjung sembuh. Langkahnya kerap tersangkut pada rantai tak kasat mata—rantai kegelisahan yang melilit tanpa celah, menjerat tanpa akhir.

Ia ingin berteriak, tetapi suaranya hilang ditelan kesunyian. Ia ingin menangis, namun matanya sudah lama kering, tak lagi mampu membendung beban yang terus bertambah. Hanya helaan napas pendek yang terdengar—bukti rapuh bahwa ia masih ada, meski keberadaan itu terasa samar, nyaris seperti ilusi.

/2/

“Ke mana arah pulang?” bisiknya lirih kepada bintang yang berselimut awan kelabu. Tetapi bintang itu bungkam, enggan menjawab. Seolah menegaskan bahwa tak ada peta bagi jiwa yang kehilangan kompasnya.

Dalam hening yang hampir melahap dirinya, ia mulai berdialog dengan luka-luka yang menganga, dengan bayangan yang terus mengikutinya. “Apakah ini kehendak semesta untuk mengukur daya tahanku? Ataukah aku hanyalah seorang pengembara yang ditakdirkan mencari tanpa pernah menemukan?”

/3/

Sungguh, tanpa ia sadari, jawaban itu sebenarnya ada. Bukan dari bintang, bukan pula dari angin malam, melainkan dari kedalaman dirinya yang telah lama ia lupakan.

“Tak ada pengembaraan yang benar-benar sia-sia, karena setiap jejak langkah adalah pesan dan setiap luka adalah hikmah yang menunggu untuk disibak.”

Bahwa bagi jiwa yang sedang dalam pencarian, kadang kala Tuhan memberi secerca cahaya yang menari di ujung kelopak mata, juga pada tangan yang menadah di penghujung malam. Namun, ia memilih untuk melupakannya. Dan bahwa berlari dari rasa sakit hanyalah menambah panjang jalan yang tak bermuara. Untuk keluar dari labirin, ia harus terlebih dahulu menghadapi dan menerima setiap lekuk jalannya.

Kendari, 2025


Ilustrasi: A Workbasket (Albert Joseph Moore), dari WikiArt.org.

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *