Prosa – Topeng Kewarasan

topeng kewarasan

Topeng Kewarasan

Malam itu, di bawah remang cahaya bulan yang menyelinap malu-malu di antara awan, aku berdiri di depan cermin yang sudah retak di sudut kamar. Bayanganku terpantul di sana, terpecah-pecah, seolah enggan menampakkan utuh diriku. Aku memandangi wajahku, tak yakin lagi wajah siapa yang sebenarnya sedang kupandangi. Apakah ini aku? Atau hanya topeng yang kubuat untuk bertahan di tengah dunia yang terus menggigit kewarasanku?

Ada senyuman kecil di sana, tipis dan palsu, yang kupaksakan setiap hari untuk meyakinkan dunia bahwa aku baik-baik saja. Orang-orang memujiku. “Kau selalu terlihat kuat,” kata mereka. “Aku ingin sepertimu, tegar menghadapi semuanya.” Mereka tidak tahu, di balik senyuman itu, ada ruang kosong yang menjerit sunyi.

Topeng ini adalah pelarian. Ia melindungiku dari pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang tidak ingin kujawab, dari rasa iba yang tidak pernah kuminta. Aku mengenakannya setiap kali keluar rumah, setiap kali bertemu manusia lain yang mengira hidup ini hanya butuh keberanian untuk tertawa. Mereka tak pernah tahu bahwa setiap tawa yang mereka dengar hanyalah gema dari kehampaan yang sengaja kubentuk agar tidak ada yang bertanya lebih jauh.

Namun, malam itu, di depan cermin yang menatapku dengan retakannya, topeng itu mulai rapuh. Aku bisa merasakan retakan kecil muncul di sudut-sudutnya. Sudah terlalu lama aku mengenakannya, terlalu lama aku memaksakan senyuman, terlalu lama aku menyembunyikan air mata di baliknya.

Cermin itu seolah berbicara kepadaku. “Berapa lama lagi kau akan terus bersembunyi?” tanyanya tanpa suara. Aku tidak tahu jawabannya.

Ada bagian dari diriku yang takut jika topeng itu hancur. Bagaimana jika orang-orang melihat diriku yang sebenarnya? Apakah mereka akan tetap tinggal, atau justru menjauh? Aku tidak siap kehilangan mereka. Aku tidak siap menghadapi tatapan iba mereka. Tapi, di sisi lain, aku juga lelah menjadi orang lain.

Jari-jariku gemetar saat aku menyentuh wajahku, mencoba meraba garis-garis yang membatasi topeng itu dengan kulitku sendiri. Rasanya tipis, hampir seperti lapisan udara, tapi keberadaannya nyata.

“Apa yang kau sembunyikan selama ini?” suara di dalam kepalaku bertanya, menggema lebih keras dari biasanya. Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, terlalu berat untuk diucapkan.

Malam itu, aku membiarkan topeng itu tetap melekat. Aku tahu, suatu hari, akan tiba saatnya aku harus melepaskannya. Tapi bukan malam ini. Malam ini, aku masih butuh perlindungannya, meskipun perlindungan itu adalah penjara yang kubangun sendiri.

Cermin itu kembali membisu. Bayanganku masih terpecah-pecah, tapi aku tidak lagi mencoba menyatukannya. Aku hanya berdiri di sana, memandangi sosok yang tidak lagi kukenal, dan bertanya-tanya, apakah kewarasan ini milikku, atau hanya ilusi yang kubentuk agar dunia percaya aku masih ada.

2024


Ilustrasi: Pinterest.com

Baca juga:


 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *